Ayat-Ayat cinta. Sebuah fenomena yang muncul awal tahun ini menyebabkan orang berduyun-duyun ingin melihat film dan membeli novelnya. Tidak ketinggalan saya. Novelnya baru saja selesai saya baca, sedang filmnya sebetulnya awal ditanyangkan di bioskop saya sudah ikut ngantri namun tidak kebagian tiket :(. Akhirnya ada teman yang berbaik hati meminjamkan jadi lumayanlah :). Saat saya mulai menonton film itu sebetulnya saya lagi membaca setengah novelnya. Habis memang baca novel tentu butuh lebih banyak waktu yang harus diluangkan. Baca novelnya sendiri aku lakukan saat di perjalanan pas lagi dinas keluar kota. Kebetulan di kantor lagi ada project di Jakarta yang menyebabkan hampir seminggu sekali mesti ke sana.
Nah, di saat rasa penasaran pada filmnya yang diserbu penonton begitu banyak, ada film di tangan yang bisa ditonton untuk mengobati penasaranku. Kenapa penasaran?? Karena di milis beberapa kali kujumpai para pembaca novel tidak puas dengan film ini walaupun film nya demikian laris di pasaran.
Akupun mulai memutar filmnya dan menonton dengan seksama. Di adegan pertama langsung saya berkomentar sambil tersenyum... Yah.. memang filmnya tidak seperti novelnya... Contoh di adegan pertama dimana Maria turun ke Flat Fahri sendirian! Ini tidak pernah terjadi di novel karena Fahri sangat menjaga hubungan dengan lawan jenis, sehingga setiap kali Maria berkunjung ke flatnya tidak pernah sendiri. Selalu ditemani kalau tidak orang tuanya ya adiknya.
Nah, kali ini aku kupas aja (pura-puranya jadi komentator nih :)) mulai dari novelnya dulu. Wah kalau saya bilang two thumbs up deh!! Novel ini menggunakan gaya bercerita aku, artinya semua kejadian yang diceritakan adalah seperti apa yang dialami oleh Fahri sendiri. Penggambaran kondisi di Mesir yang panas dan perjuangan dia dalam menjalankan rencana yang sudah dibuat sungguh bisa menggambarkan sosok Fahri yang demikian ideal. Novel ini menurut saya telah berhasil menyodorkan nuansa lain dari novel-novel cinta yang lain. Novel ini sekaligus juga menyampaikan dakwah Islam dengan sangat halus dan dikemas apik sehingga tidak berkesan menggurui. Ditunjang lagi dengan pandangan yang seutuhnya pernikahan dalam Islam dan tentang poligami.
Sosok Fahri sendiri digambarkan adalah sosok yang sangat memegang teguh ajaran agamanya. Sebetulnya ada yang mengganjal bagi saya untuk tokoh Fahri dalam novel ini. Bukan karena apa-apa, tapi menurut saya tokoh Fahri ini terlalu ideal untuk seorang manusia, bahkan mungkin sudah mendekati malaikat :). Apakah iya ada orang seperti itu saat ini?? Barangkali kalau dia memang ada banyak gadis yang antri untuk dia nikahi, bahkan banyak ibu-ibu yang mau menjadikannya menantu :).
Sosok Fahri ini digambarkan terlalu ideal menurut saya. Orangnya serius dan tidak pernah guyon. Di awal cerita sempat terbersit di benak saya bahwa Fahri ini tidak tertarik wanita :). Tetapi ceritanya bisa berbalik 180 derajat di 6/8 buku. Mungkin kang Habib penulisnya seharusnya bisa memberi sedikit sentuhan lain di sosok Fahri yang lebih 'mendarat'. lebih 'manusia' dimana dia juga tergoda walaupun itu hanya di pikirannya dan lalu ditepisnya. Di Film sosok Fahri tidak seideal di Novel. Fahri di film menurut saya lebih mendarat, namun sebetulnya jauh dari penggambaran sebenarnya di novel.
Bagaimana dengan di Film?? Secara general film Ayat-ayat cinta cukup menghibur dan memberi nuansa lain dari film-film yang saat ini banyak beredar. Hanya saja menurut saya film ini berbeda dengan novelnya! Makanya banyak pembaca yang protes setelah melihat filmnya karena memang berbeda. Fokus dari novelnya lebih ke penggambaran tokoh yang demikian teguh memegang prinsip agamanya, menggambarkan ajaran dan pandangan Islam yang sebenarnya. Sedangkan di film, lebih mengeksploitasi kisah cinta antara Fahri, Maria dan Aisha. Seperti halnya sinetron, penonton dibuat haru biru dengan kisah cinta ini.
Di Film, banyak adegan yang tidak sesuai dengan yang ada di novel. Saya tidak tahu kenapa ini terjadi. Apakah karena pembuat skenario tidak membaca dengan detil?? Ataukah sengaja dibuat seperti itu agar ceritanya lebih dramatis?? Atau agar ceritanya lebih 'pop' aja supaya banyak yang nonton.
Contoh perbedaan itu, seperti yang sudah saya sampaikan di atas, Maria tidak pernah datang sendiri ke flatnya Fahri, di film ini digambarkan begitu, bahkan komputer Fahri di novel tidak ada cerita kena virus :). Fahri dan Maria juga tidak pernah berduaan sebelum menikah, tapi di film pernah digambarkan demikian.
Soal Nurul, saat Kyai Jalal meminta Fahri menikah dengan Nurul di novel kejadiannya adalah sebelum Fahri menikah dan disampaikan di flatnya, Kyai Jalal pun saat itu belum tahu kalau Fahri akan menikah, bukan setelah Fahri menikah dan dilakukan di rumah Aisha. Justru di novel pergolakan batin Fahri paling berat adalah di sini, yaitu pada saat dia akan melangsungkan pernikahan dengan Aisha, di saat yang sama dia baru tahu sebetulnya Nurul mencintainya dan ingin menikah dengannya. Di sana diceritakan sebetulnya Fahri sudah lama memendam rasa pada Nurul, namun dia tidak menghiraukan karena merasa perbedaan status mereka terlalu besar, Nurul ada Kyai besar di Indonesia, sedangkan keluarganya keluarga miskin. Dia juga menyesal karena kenapa berita itu baru datang di saat dia akan menikah dengan Aisha hari itu.
Tentang sakitnya Maria, di novel bukan karena ditrabrak mobil atas suruhan Bahadur, tapi Maria sakit karena depresi ditinggal Fahri menikah dengan gadis lain. Yang ini terus terang saya agak heran. Kenapa filmnya bukan seperti cerita di novel aja, pasti lebih menarik karena menggambarkan sosok Maria yang demikian mencintai Fahri sampai jatuh sakit, bahkan koma!
Tentang yang meminta merekam suara Fahri untuk menyadarkan Maria yang sakit sebetulnya adalah permintaan dari keluarga Maria, dan Josef adik Maria yang melakukan, bukan Aisha.
Terus yang meminta Fahri menikahi Maria yang pertama di novel adalah keluarga Boutros (ayah Maria) karena melihat anaknya koma dan kata dokter hanya bisa sembuh oleh sentuhan Fahri. Fahri tidak mau menikahi Maria karena dia sudah berjanji pada Aisha tidak akan memadunya. Lalu keluarga Boutros meloby Aisha agar mengijinkan Fahri menikahi Maria, dan Aisha menyetujuinya, bahkan dia mendukung dengan harapan setelah Maria sembuh akan bersaksi agar Fahri bisa terbebas dari tuduhan memperkosa Noura. Maria ini memang merupakan saksi kunci. Aisha tidak mau Fahri dihukum gantung karena tuduhan itu. Dia tidak mau kehilangan dia sehingga dia jadi janda dan anak dalam kandungannya jadi yatim.
Soal Alicia, seorang bule yang ditolong Fahri di Metro, di novel diceritakan pada akhirnya dia jadi muslimah setelah terbuka matanya dengan penjelasan Fahri soal Islam. Di film ini tidak ada. Saya maklum sih, soalnya agar film ini lebih bisa ditonton banyak orang dari berbagai agama sehingga tidak ada kesan kalah menang.
Soal bagaimana perjuangan Fahri mengetahui jati diri Noura sebetulnya juga tidak disampaikan di film, bahwa Noura yang sejak awal diceritakan sebagai anak Bahadur yang sering disiksa karena berwajah berbeda dengan orang tuanya, ternyata setelah dibantu oleh beberapa orang diketahui bahwa Noura sebetulnya memang anak seorang Jerman yang terhormat.
Satu hal lagi yang menurutku bertentangan dengan novelnya. Di film diceritakan bahwa beberapa kali Aisha bersitegang dengan Fahri setelah menikah karena masalah 'memaksakan' kekayaan Aisha kepada Fahri. Di novel hal ini disinggung juga tapi begitu santun, tidak ada perdebatan, bahkan Aisha sungguh hati-hati mengutarakan itu pada Fahri. Ini penggambaran sosok Aisha yang berbeda menurut saya. Bahkan di film dikisahkan Aisha jadi meragukan sosok Fahri yang memang baru beberapa kali bertemu sebelum menikah setelah ada tuduhan dia memperkosa Naura. Di novel sangat berbeda, dia begitu yakin Fahri tidak bersalah, bahkan sangat mendukung Fahri agar bisa keluar dari penjara.
Waktu di penjara juga, di novel berbeda dengan film. Di novel diceritakan Fahri satu sel dengan beberapa orang 'besar' (kalau tidak salah 6 orang), profesor yang berpengaruh, demonstran dan pembela rakyat kecil. Mereka semua membesarkan hati Fahri. Di film hanya 1 orang, orang ini mentertawakan Fahri walaupun akhirnya menyadarkan Fahri bahwa dia selama ini sombong dan merasa benar serta kurang ikhlas menerima bahwa istrinya lebih kaya. Di novel ini tidak ada.
Soal Maria, di novel tidak sempat sembuh dan pulang ke rumah Fahri setelah menikah, di novel diceritakan bahwa setelah sadar dari koma dan bersaksi di pengadilan Maria pingsan. Menurut dokter dia terlalu emosi sehingga ada pembuluh darah yang pecah. Di rumah sakit itu juga Maria kembali koma, setelah sempat sadar dia minta wudhu dan dituntun membaca syahadat (bukan sholat) lalu meninggal. Dikisahkan selama koma Maria merasa sudah hampir masuk pintu surga namun ditolak karena belum membaca shahadat. Lha di film Maria dikisahkan sempat sembuh dan pindah ke rumah Fahri dan Aisha. Di situ dikisahkan bagaimana kedua istri Fahri merasa saling cemburu dan berusaha menarik perhatian Fahri, sampai Fahri merasa capek mengakurkan keduanya. He..he.. ini sih di film biar lebih dramatik kali ya.. Mungkin ini diambil dari pengalaman orang yang punya 2 istri kali :). Memang menyuguhkan rasa cemburu pasti mengharu biru penonton :).
Itu tadi perbedaan novel dan filmnya. Menurutku sih kalau novelnya di-filmkan murni pasti filmnya bagus, tapi mungkin gak terlalu laku :(, seperti film-film peraih oscar yang tidak masuk box office.
Film AAC ini menurut saya bisa dibuat lebih baik. Saya merasa film ini terlalu terkesan terburu-buru sehingga detil-detil peristiwa yang menguatkan cerita malah tidak ada. Pembuat naskah memaksakan cerita yang panjang dalam film yang berdurasi pendek. Dalam bayangan saya seharusnya yang menjadi Fahri lebih cocok Surya Saputra yang di film itu menjadi paman Aisha. Surya terasa lebih 'berkarakter'. Tapi mungkin karena film ini target marketnya adalah para remaja dan ABG jadilah Fedi yang lebih muda menjadi bintang utamanya. Ceritanya menurut saya sih seharusnya target marketnya adalah orang dewasa yang siap menikah maupun yang sudah menikah karena menyuguhkan konflik poligami.
Kembali ke alur cerita film, sebetulnya kalau durasi pendek namun ingin mengisahkan background pemain, kondisi lingkungan serta latar belakang cerita bisa dilakukan dengan monolog dari Fahri di awal cerita yang menceritakan siapa tiap tokoh di film itu, lalu budaya di sana, termasuk aturan-aturan di Islam yang dipegang teguh Fahri, terus bagaimana kondisi lingkungan Fahri di Mesir yang demikian panas. Dengan monolog itu maka beberapa hal sudah tersampaikan sehingga cerita berikutnya bisa lebih ditangkap maknanya dan bisa dipahami lebih dalam dan menyentuh. Pendek namun bisa membawa pesan novel yang panjang itu ke layar lebar.
Wuah.. saya kok sudah seperti komentator betulan yah :). Jadi resumenya, keduanya cukup bagus untuk dinikmati, namun memang focusnya berbeda. Anggap saja filmnya kebetulan saja beberapa hal sama, jadi bukan novel yang diangkat ke film.
Buat pihak-pihak yang dikomentari mohon maaf :). Ini karena kecintaan saya pada hasil karya Ayat-Ayat Cinta baik novel maupun filmnya. Mudah-mudahan menjadi lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar